Selasa, 16 September 2014

pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia




 
  

 

 

 
 

 
 PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
DI INDONESIA

DI SUSUN OLEH :

1.        Nofi Arif Kholili                     (7101412133)
2.        Deni Fajar Fatihci                  (7101412363)
3.        Siska Nur aini                        (7101412410)
4.        Pawit Kurniasih                     (7311412067)
5.        Dwi Wahyuningsih                (7311412091)











UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kepada penulis berupa nikmat kesehatan dan kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul”Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia”ini.
Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Makalah ini menguraikan tentang pelaksanaan otonomi daerah pada masa orde baru dan juga pada masa reformasi. Selain itu, dijelaskan juga masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Di dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas makalah ini.
             Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak kekurangan,oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Harapan kami setelah pembaca ,membaca makalah ini maka akan timbul kesadaran dari dalam diri pembaca untuk ikut andil dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.





Semarang, 4 Juni 2013



Penulis


DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................... i
Kata Pengantar ......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C.     Manfaat dan Tujuan Penulisan ...................................................... ........ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A.OTONOMI DAERAH.............................................................................. 3
A.1. Pengertian Otonomi Daerah ............................................................. 3
A.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah........................................................... 3
A.2.1 Pendahuluan............................................................................ 3
A.2.2 Konsepsi Pelaksanaan Otonomi Daerah.................................. 4
A.2.3 Tantangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah..................... 4

B. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI MASA ORDE BARU   5
C.PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI                    6
            D.MASALAH YANG TIMBUL  SELAMA PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH.................................................................................. 9
D.1 Permasalahan Dan Dampak Otonomi Daerah...................................... 9
D.2  Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah............................................... 10
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 12
A.    Kesimpulan ............................................................................................. 12
B.     Saran ....................................................................................................... 12
C.     Daftar Pustaka ........................................................................................ 14









BAB 1
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Otonomi daerah di Indonesia lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia di sekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia di sekitar tahun 1997 kemudian melahirkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998,  mencuat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.
Di balik itu semua ternyata ada banyak faktor yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Latar belakang otonomi daerah tersebut dapat dilihat secara internal dan eksternal.
Latar belakang otonomi daerah secara internal, timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan mesin pemerintahan yang dilaksanakan secara sentralistik. Terdapat kesenjangan dan ketimpangan yang cukup besar antara pembangunan yang terjadi di daerah dengan pembangunan yang dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta. Kesenjangan ini pada gilirannya meningkatkan arus urbanisasi yang di kemudian hari justru telah melahirkan sejumlah masalah termasuk tingginya angka kriminalitas dan sulitnya penataan kota di daerah Ibukota.
Selain latar belakang otonomi daerah secara internal sebagaimana dimaksud diatas, ternyata juga terdapat faktor eksternal yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Faktor eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya otonomi daerah di Indonesia adalah adanya keinginan modal asing untuk memassifkan investasinya di Indonesia. Dorongan internasional mungkin tidak langsung mengarah kepada dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, tetapi modal internasional sangat berkepentingan untuk melakukan efisiensi dan biaya investasi yang tinggi sebagai akibat dari korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.







B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah ?
2.      Bagaimanakah pelaksanaan otonomi daerah pada masa orde baru ?
3.      Bagaimanakah Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Reformasi ?
4.      Masalah yang timbul  selama Pelaksanaan Otonomi Daerah ?

C.MANFAAT DAN TUJUAN PENULISAN
Manfaat dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi daerah itu sendiri
2.      Mengetahui pelaksanaan otonomi daerah pada masa orde baru
3.      Mengetahui pelaksanaan otonomi daerah pada masa setelah reformasi sehingga dapat membandingakan pelaksanaan otonomi daerah pada masa orde baru
4.      Mengetahui masalah yang timbul selama pelaksanaan otonomi daerah, sehingga dapat dijadikan pembelajaran agar tidak terjadi permasalahan yang sama di masa sekarang






































BAB 11
PEMBAHASAN

A.OTONOMI DAERAH
A.1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.      Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  1. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan:
  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju


A.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah
A.2.1 Pendahuluan
            Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diselenggarakan lebih dari satu  dasawarsa. Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang.

A.2.2 Konsepsi Pelaksanaan Otonomi Daerah

            Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini  terutama disebabkan karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan kewenangan yang pada awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi urusan pemerintahan daerah masing-masing.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia yang meliputi kepala daerah beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota lembaga legislatif dan partisipasi masyarakatnya. Faktor keuangan daerah, baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli daerah, yang akan mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah. Faktor manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah.

A.2.3 Tantangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

            Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa yang menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Namun dalam realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-citanya. Tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial budaya.
Pelaksanaan  otonomi daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin sejuk reformasi berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria reformasi dan dalam situasi dimana krisis ekonomi sedang mencekik tingkat kesejahteraan rakyat, Negara Indonesia membuat suatu keputusan pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di Judicial Review dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Judicial review ini dilakukan setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut dilaksanakan dengan mendasarkannya pada logika hukum.
Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan dimana mereka harus memahami peraturan perundang-undangan hasil judicial review. Tanpa adanya pemahaman yang baik dari aparatur, maka bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang sering terjadi dimana peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan realitas hukum masyarakat sehingga kehilangan nilai sosialnya dan tidak dapat dilaksanakan. Wacana ini pernah ditulis oleh Hikmahanto Yuwono dan dimuat  di harian Kompas pada tahun 2002.
Pelaksanaan otonomi daerah telah mendorong lahirnya banyak perubahan di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka yang berperan siap dengan kondisi yang akan mereka hadapi. Diserahkannya kewenangan untuk mengelola potensi daerah kepada pemerintah daerah tidak berarti bahwa daerah bisa secara massif berupaya meningkatkan pendapatan daerah yang disisi lain justru berpotensi mengurangi investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Demikian pula bahwa perencanaan pembangunan di daerah mesti didasarkan pada analisa yang obyektif bukan sekedar ambisi kepala daerah dan harus secara bijak memperhatikan kepentingan masyarakat kecil. Belakangan ini kita sangat sering menyaksikan bagaimana para pedagang kecil yang harus disejahterakan melalui pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi korban penggusuran.

B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
         
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
  1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya
  2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
  3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

C.PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
  12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
  13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
  14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
  15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.


D.MASALAH YANG TIMBUL  SELAMA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
D.1 PERMASALAHAN DAN DAMPAK OTONOMI DAERAH:

1.      Kualitas Dan Kemampuan Pemerintah Daerah Yang Terbatas
            Jauhnya daerah dari pusat pemerintahan negara menjadikan ketimpangan kemampuan para personel di Pemerintah Daerah bila dibandingkan dengan kemampuan serta kualitas personel Pemerintah Daerah yang jaraknya lebih dekat dengan pusat pemerintahan. Kualitas serta kemampuan yang terbatas menjadikan pelaksanaan otonomi daerah hanya diimplementasikan separo - separo saja dan tidak maksimal.
2.      Ketimpangan Sumber Daya Daerah
            Tidak semua daerah di Indonesia merupakan daerah kaya. Seperti contoh: Kabupaten Kudus memiliki tingkat pendapatan daerah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kabupaten Purwodadi. Ketimpangan pendapatan daerah dan juga sumber daya ini menjadikan sebuah daerah tampak lebih ungguk dan sejahtera bila dibandingkan dengan daerah yang lain.
3.      Birokrasi Kegiatan Lintas Kota Yang Tidak Praktis
            Setelah diberlakukannya otonomi daerah,  tidak ada lagi batas hirarki yang jelas antara satu kota / daerah dengan kota / daerah yang lain. Ini menyebabkan timbulnya birokrasi yang tidak praktis bila suatu kegiatan dilakukan antar kota.
4.      Pelimpahan Urusan Yang Tidak Disertai Dengan Pelimpahan Pembiayaan
            Pelaksanaan otonomi daerah berarti Pemerintah Pusat melimpahkan urusan yang semula menjadi urusan dan tanggung jawab pemerintah pusat menjadi urusan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Namun sayangnya pelimpahan urusan tersebut tidak disertai dengan pelimpahan urusan pembiayaan sehingga terkadang hal ini menyulitkan Pemerintah Daerah dalam menjalankan beberapa program dari pemerintah pusat
5.      Perbedaan Kesiapan Pemerintah Daerah
            Setiap Pemerintah Daerah memiliki kesiapan yang beragam dalam melaksanakan otonomi daerah sehingga pelaksanaan otonomi daerah ini tidak bisa dilaksanakan secara serentak. Ini berhubungan dengan tingkat pendapatan asli daerah, kesiapan personel pemerintah daerah, dll
6.      Munculnya Beragam Aspirasi Masyarakat
            Kekhawatiran terbesar yang sering diungkapkan para pakar tentang implementasi otonomi daerah adalah munculnya aspirasi dari masyarakat daerah yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan terjadinya disintegrasi antara kepentingan negara dengan kepentingan daerah. 


D.2  EVALUASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Indonesia adalah negara yang memiliki Pemerintahan yang terbagi menjadi Pusat dan Daerah. Dalam Pemerintah Daerah terbagi lagi menjadi Pemerintah Daerah tingkat Propinsi dan Pemda tingkat Kota/Kabubaten .  Dalam hal pemerintahan ini terdapat asas Desentralisasi . Desentralisasi adalah penyerahan wewenang kepada pemerintah Daerah untuk mengurusi rumah tangganya sendiri sesuai aspirasi rakyatnya. Indonesia mengenal Desentralisasi ini sejak lama . Desentralisasi ini berlaku dalam aspek administratif pemerintah.
Dari asas Desentralisasi maka hal ini tidak jauh dengan penerapan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah sebagai salah satu bentuk cara memerintah yang diterapkan diberbagai wilayah di Indonesia yang diberikan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini ditujukan agar Pemerintah di Daerah dapat mengambil keputusan dan mengelola berbagai kepentingan di daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan secara tepat tanpa melalui alur proses yang lama dan berbelit untuk mengembangkan daerahnya sesuai potensi dan kekhasannya masing-masing.  Pemerintah Daerah memiliki kebebasan mengelola tersebut selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan memiliki Prinsip Asas,Luas,Nyata serta bertanggung jawab.Terdapat dua nilai dasar dalam pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ini. Yang pertama yaitu asas Unitaris
Pengelolaan berbagai aspek oleh Pemerintah Daerah ini juga memerlukan pengawasan dari berbagai pihak terutama dari masyarakat di daerah sendiri yang mengetahui kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan. Karena kebebasan dalam pengambilan keputusan rawan terjadi penyimpangan sehingga perlu adanya kontrol untuk mencegah adanya penyimpangan tersebut. Karena wewenang ini adalah bagian dari amanah yang diberikan rakyat dan negara untuk mengurusi wilayah.
Namun dalam pelaksanaannya tentulah tidak bisa mencapai kesempurnaan. Artinya selama ini terdapat penyimpangan dalam memanfaatkan kewenangannya. Dan di dalam kasus ini penyimpangan yang terjadi adalah dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam. Contohnya adalah pemberian Izin Investasi Kehutanan,Pertambangan,Perkebunan dan Perikanan yang kerapkali diberikan terkait kepentingan kelompok tertentu di Daerah dan ditambahkan pula bahwa penyimpangan ini marak terjadi ketika menjelang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada . Jelas hal ini tidak adil dan harus dilakukan evaluasi karena SDA yang ada di daerah harus digunakan sebaik mungkin untuk kemakmuran semua rakyat yang ada di daerah.
Oleh karena adanya penyimpangan tersebut maka dilakukanlah evaluasi melalui berbagai hal. Salah satunya adalah memberikan usul pada DPR RI yang dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan di tingkat Pusat yang saat ini sedang membahas Rancangan Undang Undang tentang Pemda. Usulan yang disampaikan tersebut adalah mencabut kewenangan pemberian Izin investasi Kehutanan, Pertambangan,Perkebunan dan Perikanan di Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kota. Kemudian wewenang ini tidak hilang begitu saja,namun ditambahkan ke kewenangan Pemerintah Propinsi,artinya ada pemindahan wewenang ke atas dari tingkat Kabupaten/Kota ke tingkat Propinsi agar meminimalisir penyimpangan yang terjadi di daerah dan pengontrolan oleh pemerintah menjadi lebih mudah dilakukan.
Terjadinya penyimpangan dalam hal pengelolaan di daerah berarti juga terjadi pengkhianatan atas amanah yang diberikan rakyat kepada pemerintah yang bersangkutan . Sehingga bentuk penyimpangan semacam ini harus diwaspadai dan dihindari dengan cara evaluasi dan pengawalan dari kita semua warga Indonesia. Karena memang penerapan asas Desentralisasi di Indonesia dirasa belum efektif . Sehingga sangat diperlukan penataaan ulang agar terjadi pola pemerintahan yang baik dan sehat. Karena pembiaran atas penyimpangan yang terjadi terhadap penerapan otonomi daerah ini akibatnya adalah kerugian rakyat dan pada kebijakan nasional secara menyeluruh.
Pada dasarnya penerapan Desentralisasi dan Otonomi daerah adalah sebuah cara yang bagus dalam pengelolaan suatu wilayah Karena rakyat dan masyarakat setempat memiliki kewenangan yang cukup luas dalam mengatur wilayahnya sesuai dengan kepentingan dan dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki tiap daerah.
Namun apabila didalamnya terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan maka perlu dilakukan penindakan terhadap oknum yang menyalahgunakan wewenang tersebut. Dan perlu juga dilakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah yang melaksanakan otonomi daerah ini. Jangan sampai dengan dilakukannya desentralisasi yang bertujuan baik ini justru membawa daerahnya tidak kepada kemakmuran rakyatnya.
Ketidakefektifan pola pemerintahan yang seperti ini menurut saya bukan pada sistemnya namun pada pelaksanaannya yang tergantung dari orang-orang didalamnya apakah memiliki integritas ataukah tidak melaksanakan amanah yang diberikan dengan baik. Intinya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini tetap harus penuh pengawalan dari masyarakat agar masyarakat tetap mendapatkan manfaat dan tidak ada yang dirugikan dalam pelaksanaannya.































BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.
Otonomi daerah telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan bangsa, misalnya segi ekonomi maka pemerintah daerah dapat mengatur dan mengelola segala sumber daya yang ada sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, otonomi daerah pula mempengaruhi di segi politik, birokrasi dan sosial budaya. Seperti pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, ini sangat berbeda pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan. Tengok saja, dari bupati sampai presiden kini dipilih langsung oleh rakyat. Otonomi memungkinkan daerah mengatur rumah tangganya sendiri.
           Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semakin kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.

B.SARAN

Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.
Otonomi daerah telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan bangsa, misalnya segi ekonomi maka pemerintah daerah dapat mengatur dan mengelola segala sumber daya yang ada sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, otonomi daerah pula mempengaruhi di segi politik, birokrasi dan sosial budaya. Seperti pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, ini sangat berbeda pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan. Tengok saja, dari bupati sampai presiden kini dipilih langsung oleh rakyat. Otonomi memungkinkan daerah mengatur rumah tangganya sendiri.
           Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semakin kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.




































C.DAFTAR PUSTAKA

Otonomi Daerah.2013”Latar Belakang Otonomi Daerah” http://otonomidaerah.com/latar-belakang-otonomi-daerah.html diakses pada tanggal 5 Juni 2013
Otonomi Daerah.2013.”Pelaksanaan Otonomi Daerah” http://otonomidaerah.com/pelaksanaan-otonomi-daerah.html diakses pada tanggal 26 Me 2013

Otonomi daerah di Indoesia.2013.”Otonomi daerah di Indonesia” http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia diakses pada tanggal 26 Mei 2013
Setyawan Salam Darma.DR.Ir. 2007. Otonomi Daerah. Penerbit Jembatan Jakarta
Syafirin Pipin. Dedah Jubaedah. 2006. Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Pustaka Setia Bandung







           
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar