Jumat, 11 November 2016

                                                 Review Artikel


Quality of Work Life on Employees Job Involvement and Affective Commitmen between the Public and Private Sector in Malaysia
P. yukthamarani Peramrupan, Abdullah Al-Mamun, dan Roselina Ahmad saufi
Asian Socia Science; Vol. 9, No. 7; 2013
ISSN 1911-2017 E-ISSN 1911-2025

1.      Latar Belakang Masalah
Dalam bisnis dewasa ini, perusahaan tidak dapat menghindar dari berbagai macam bentuk kejahatan orgnisasi dan kompetisi. Saat ini, terdapat perbedaan yang cukup besar pada manajemen di sektor publik dan swasta. Perbedaan yang mencolok tersebut terletak pada faktor pendapatan dimana uang, pengembalian, dan keuntungan selalu menjadi elemen kunci pada sektor swasata. Namun, kedua sektor tersebut memiliki  kelemahan pada keterlibatan dan komitmen karyawan pada organisasi guna memastikan organisasi dapat beroperasi dan dikelola secara efektif.  Penelitian yang dilakukan oleh Walton (1974) menyatakan bahwa manusia sangat berhubungan dengan emosi dan kecerdasan. Oleh karena itu, persyaratan untuk memenuhi kebutuhan hierarki manusia adalah aspek yang cukup penting terutama pada kepuasan dan motivasi. Namun, adanya QWL justru membuat organisasi melakukan penekanan terhadap keterlibatan kerja karyawan, dimana keterlibatan kerja seorang karyawan dipandang sebagai indicator kinerja dan pengembalian investasi organisasi yang tinggi. Mengembangkan dan menyediakan QWL dengan baik maka akan berdampak pada keuangan suatu organisasi yang baik pula.
2.      Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ini adalah untuk menguji “Pentingnya Kualitas Kehidupan Kerja (QWL) dan keyakinan Kualitas Kehidupan Kerja pada Keterlibatan Kerja dan Komitmen Afektif
3.      Hipotesisi
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut; a) H1: Semakin tinggi kepuasan dengan QWL, semakin tinggi Keterlibatan Kerja karyawan; b) H2: Semakin tinggi kepuasan dengan QWL, semakin tinggi Komitmen Afektif ; c) H3: Ada hubungan positif antara Keterlibatan Kerja karyawan dan komitmen afektif ; d) H4: Keterlibatan kerja karyawan secara signifikan mengintervening hubungan antara QWL dan Komitmen Afektif ; e) H5: Ada perbedaan yang signifikan QWL antara karyawan Sektor Publik dan Karyawan sektor swasta.
4.      Teori yang digunakan
Konsep kualitas kehidupan kerja (QWL) pertama kali diciptakan pada tahun 1962. Teknik QWL dapat memenuhi kebutuhan psikologis staf dalam organisasi (Pluck, 1993:36-42). Ikatan atau rantai karyawan dengan organisasinya disebut komitmen organisasi (OC) (Lambert dan Paoline, 2008; mathieu et al., 2010). Allen dan Meyer (1990) telah mengidentifikasi tiga jenis OC yaitu : afektif, kelanjutan, dan normatif.  Kebanyakan penelitian organisasi publik menunjukkan adanya komitmen afektif dan kelanjutan (Kalbers & Fogarty, 1995; Ketchand & Strawser, 2001).
5.      Metodologi Penelitian
Penelitian ini meruakan penelitian cross section, karena penelitin didasarkan pada satu waktu. QWL menggunakan pengukuran menggunakan  4 skala likert dengan 1 sangat tidak puas sampai 4 sangat puas, sementara pengukuran keterlibatan kerja menggunakan skala likert 6 mulai 1 untuk sangat setuju sampai 6 sangat tidak setuju. Penelitian menggunakan kuesioner sejumlah 400 sampel dengan teknik purposive sampling.
6.      Hasil Dan Pembahsan
Pengukuran reliabilitas menunjukkan cronbach alpha sebesar 0,7999 dan 0,933 untuk variabel dependen dan independen yang berarti variabel memiliki reliabilitas yang kuat. Keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan efisiensi kerja dan efektivitas kerja. Perbedaan antara responden dari publik dan swasta adalah signifikan terhadap keterlibatan kerja mereka.  Karyawan sektor publik yang tidak efisien terbukti bersalah melalui hubungannya dengan pengaruh QWL. Responden sektor publik memiliki Keterlibatan Kerjayang  kuat dan mungkin kelompok sasaran penelitian ini memainkan peran manajemen tingkat menengah dan atas.  Perbedaan antara kedua sektor mencetak p. = 0,013.
7.      Simpulan Dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja yang memuaskan akan meningkatkan keterlibatan kerja yang berhubungan dengan afektif komitmen. Saran untuk  organisasi secara keselurhan dapat beradaptasi dan berimprovisasi pada sisitem kerja mereka saat ini guna meningkatkan keterlibatan kerja karyawan dan komitmn afektif. Selain itu, untuk kedua organisasi adalah selalu berusaha untuk memberikan kehidupan kerja yang baik untuk mendapatkan kinerja terbaik dari para karyawannya. 
                                                        Review Artikel


Mediating Role Of Jobs Satisfaction Among Organizational Commitment, Organizational Culture And Citizenship Behavior (OCB); Empirical Study On Private Higher Education In Central Java, Indonesia
Suparjo; Susetyo Darmatyo
Journal Of Research In Marketing Volume 4 No 1 February 2015 ©Techmind Research, Society 289 | P A G E


1.      Pendahuluan
Terdapat perbedaan pendapat hasil penelitian mengenai hubungan kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior (Mehboob et al., 2012). Study yang dilakuan oleh Smith et al, (1993) [31] menemukan korelasi positif antara dua dimensi organizational citizenship behavior; altruism & kepatuhaan, dan kepatuhan kerja. Menurut Chang et al, (2010) jika organisasi menjadi sukses dalam menjaga karyawannya berkomitmen untuk organisasi; maka terdapat kesempatan yang lebih tinggi terkena OCB pada karyawan.
2.      Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana kepuasan kerja memediasi hubungan antara komitmen organisasi, budaya organisasi dan organizational citizenship behavior dosen perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah, Indonesia
3.      Hipotesis
Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah a) H1 : kepuasan kerja memediasi hubungan komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior; b) H2 : kepuasan kerja memediasi hubungan budaya organisasi dan organizational behavior citizenship; c) H3: terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dan OCB.
4.      Tinjauan Pustaka
Porter et al., (1974) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan identifikasi individu dengan keterlibatan dalam sebuah organisasi tertentu. Komitmen organisasi dikembangkan lebih lanjut oleh Porter et al., (1974) dan diukur sebagai konsep global dengan tiga komponen yang berbeda; (1) komitmen nilai; (2) koitmen retensi; (3) komitmen usaha. Robbins (2000) mengonsep kepusasn kerja sebahai perasaan keseluruhan atau sikap tentang pekerjaan yang mereka lakukan. Kepuasan kerja terdiri dari kepuasan tugas, kepuasan kerja dan kepuasan pasar (Putman, 2002). Organi (1988) memandang OCB sebagai perilaku mextra-peran karena merupakan tindakan prestasi kerja di luar persyaratan kerja yang telah ditentukan.
5.      Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah metode survey dengan memabagikan kusioner ke 400 sampel yang merupakan dosen tetap, baik dosen PNS maupun dosen Honorer yang bekerja di perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah. Namun, hanya 244 kuesioner yang kembali ke peneliti yang kemudian mengerucut menjadi 226 responden setelah pengolahan dan pemodifikasian data menggunakan Structural Equation Model (SEM).
6.      Hasil Dan Pembahasan
REMSEA, berdasarkan table reability test result, secara bersama-sama semua variabel pada kisaran nilai yang diharapkan, meskipun AGFI marginal dapat diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja adalah mediator penting dari hbungan anatar komitmen organisasi dan OCB.
7.      Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubunngan yang signifikan antara komitmen organisasi, budaya organisasi dan kepuasan kerja, serta kepuasan kerja dan organizational citizenship (OCB). Saran untuk perusahaan jika manajemen organisasi ingin memiliki tingkat yang lebih tinggi dari perilaku sukarela mereka, mereka harus memberikan kepuasan kerja serta memberikan manfaat yang lebih dalam komitmen organisasi, dan budaya organisasi. Sementara itu, saran untuk penelitian selanjutnya adalah pengembangan variabel-variabel yang terikat dalam penelitian tersebut.
8.      Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data hanya mengandakan laporaan diri dan survey data, serta pengukuran variabel  yang hanya terpaku pada satu titik waktu saja. 
                                                       Review Artikel


POWER DITANCE AND ITS MODERATING ROLE IN THE RELATIONSHIP BETWEEN SITUATIONAL JOB CHARACTERISTICS AND JOB SATISFACTION
AN EMPIRICAL ANALYSIS USING DIFFERENT CULTURAL MEASURES
Sven Hauff, Nicole Richter
Cross Cultural Management Vol 22 No 1,2015 Emerald Group Published Limited


1.      Pendahuluan
Hingga saat ini beberapa penulis telah menganalisis peran moderasi pada hubungan jarak kekuasan dan karakteristik tertentu dan kepuasan  dimana penelitian yang berhubungan semisal menggunakan aspek keadilan organisasi atau procedural (Leet, 2000; Kirkman et al, 2009;… Loi et al, 2012) serta aspek pemberdayaan karyawaan dan otonomi (Huang dan Van de Vliert, 2003; Huet al, 2004;… Fock et al, 2013). Namun, hingga kini belum ada analisis tentang peran moderasi jarak kekuasan dalam model kepuasan kerja yang komprehensif.
2.      Tujuan
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis apakah dan bagaimana jarak kekuasan nasional dan peran moderator dalam hubungan antara karakteristik pekerjaan situasional dan kepuasan kerja
3.      Pengembangan hipotesis
Huang dan Van de Vliert (Huang dan Van de Vliert, 2003) menunjukkan bahwa efek dari aspek pekerjaan intrinsik -termasuk kepuasan kerja dimoderasi melalui jarak kekuasaan. Sedangkan ROBERTET al. (2000) menemukan dukungan parsial. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1. Hubungan positif antara pekerjaan independen dan kepuasan kerja adalah lemah dalam budaya jarak kekuasaan tinggi. H2. Hubungan positif antara peluang kemajuan dan kepuasan kerja lebih kuat dalam budaya jarak kekuasaan tinggi. H3. Hubungan positif antara pendapatan dan kepuasan kerja lebih kuat dalam budaya tinggi dalam jarak kekuasaan H4.1. Hubungan positif antara hubungan baik dengan manajemen dan kepuasan kerja lebih lemah dalam budaya jarak kekuasaan tinggi. H4.2. Hubungan positif antara hubungan baik dengan manajemen dan kepuasan kerja lebih kuat dalam budaya jarak kekuasaan tinggi. H5.1.Hubungan positif antara hubungan yang baik dengan rekan-rekan dan kepuasan kerja lebih lemah dalam budaya jarak kekuasaan tinggi. H5.2. Hubungan positif antara hubungan yang baik dengan rekan-rekan dan kepuasan kerja lebih kuat dalam budaya jarak kekuasaan tinggi.
4.      Teori yang digunakan
Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pekerjaan siuasional. Misalnya menurut teori dua factor yang juga dikenal sebagai teori motivasi pribadi, anteseden dari  kepuasan kerja dapat dikelompokkan dalam faktor motivasi,seperti  pengakuan pekerjaan, tanggung jawab , promosi,dan  pertumbuhan karir, serta factor pribadi, seperti gaji, kebijakan perusahaan, hubungan dengan rekan kerjadan pengawasan (Hezberg et al, 1959). Demikian pula, model karakteristik pekerjaan (Hackman dan Oldham, 1976), yang menentukan kondisi yang menyebabkan kepuasan kerja yang lebih tinggi, mendefinisikan lima karakteristik inti pekerjaan: identitas tugas, signifikansi tugas, berbagai keterampilan, otonomi dan umpan balik, dan dengan demikian menyoroti pentingnya aspek pekerjaan intrinsik.
5.      Metodologi penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah 16 negara dengan jumlah sampel yang disebar mencapai 10.017 responden. Namun pada analisis data hanya 8435 jawaban yang dapat menampung semua variabel. Responden merupakan  karyawan saat ini bekerja untuk membiayai istri, dan para pembantunya. Pengukuran kuesioner menggunakan skala likert 7 dengan skala 1 benar-benar tidak puas hingga 7 benar-benar puas. Sementara itu, terdapat beberapa  variabel penjelas diukur pada skala antara 1 (sangat tidak setuju) dan 5 (sangat setuju). Analisis data menggunakan model regresi standar diterapkan menggunakan kuadrat terkecil estimasi biasa.
6.      Hasil dan analisis
Secara keseluruhan, hanya terdapat satu dimensi situasional yang tidak signifikan yang berdampak pada kepuasan kerja yaitu kesempatan untuk membantu orang lain. Mengenai efek langsung pada jarak kekuasaan pada kepuasan kerja, peneliti tidak menemukan pengaruh jika menggunakan skor yang diberikan oleh Hofstede. Namun secara signifikan dampak kepuasan pekerjaan, baik ketika menerapkan nilai GLOBE serta ketika menggunakan skor Taras et al 's (2012) dimana hasil akhir menunjukkan variabel moderator jarak kekuasan sangat bergantung pada konsep budaya yang dikembangkan.
7.      Simpulan dan saran
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa  terdapat perbedaan secara nasional dalam kepuasan kerja, seperti yang ditemukan dalam berbagai penelitian, yang berakibat perbedaan disposisi situasional untuk bekerja dan bukan hasil dari budaya lingkungan yang berbeda dalam hal jarak kekuasaan yang diukur dengan konsep saat ini. Saran untuk penelitian yang akan dating adalah memasukkan varriasi variabel selain jarak kekuasan,karakteritik pekerjaan, dan kepuasan kerja.
8.      Keterbatasan penelitian
Tidak adanya penyajian hasil model control yang terdiri dari usia, jenis kelamin dan pendidikan mengakibatkan nilai R2 hanya sebesar 9%
                                                        Review Artikel
Peran Budaya Kerja Kekeluargaan, Komitmen Afektif, dan Turnover Karyawan
Aminah Ahmad, Zahorah Omar
Jounal of American Science, 2010;6(12)  http://www.americanscience.org

1.      Pendahuluan
Perputaran karyawan dapat membahayakan rencana strategis organisasi untuk mencapai tujuannya (Abasi dan Hollman, 2008). Aminah dan Zoharah, 2008; Perrewe’, Treadway dan Hall, 2003) menunjukkan perubahan yang banyak dalam menangani peran pekerjaan dan keluarga. dan karena itu diharapkan organisasi menjadi lebih sensitif terhadap tanggung jawab keluarga karyawan dan kebutuhan di luar tempat kerja. Penelitian ini mengacu pada teori pertukaran sosial (Blau, 1964) untuk menguji hubungan antar variabel tersebut.Teori pertukaran sosial dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara keluarga – dukungan budaya kerja dan komitmen karyawan untuk organisasi dan niat keluar karyawan.
2.      Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji peran dukungan budaya kerja keluarga dalam mengurangi tingkat perputaran karyawan dan peran mediasi dari komitmen afektif dalam hubungan antara pengaruh dukungan budaya kerja keluarga.
3.      Hipotesis dan Pengembangannya
Pada dasarnya, adanya peran budaya kerja kekeluargaan, komitmen afektif dapat mengurangi tingkat keinginan karyawan untuk berindah tempat kerja. Hal ini dikarenakan terciptanya kenyamanan selama bekerja.Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa karyawan yang menemukan bahwa organisasi mereka kurang responsif terhadap kebutuhan keluarga mereka akan kurang merespon terhadap kebutuhan keluarga mereka akan kurang berkomitmen untuk organisasi dan karenanya dapat meninggalkan organisasi (Haar dan Spell, 2004; Rothbard, Philips dan Dumas, 2005; Wang dan Walumba, 2007).Berdasarkan hal tersebut di peroleh hipotesis H1. Terdapat hubungan positif antara persepsi dukungan keluarga, budaya kerja dan komitmen afektif. H2. Terdapat korelasi negative antara dukungan keluarga, budaya kerja, dan turnover intention. H3. Terdapat hubngan negative antara komitmen afektif karyawan dan niat untuk berpindah karyawan. H4. Komitmen afektif memediasi hubungan antara persepsi keluarga, dukungan budaya kerja dan turnover intention.4.      Teori yang digunakan
Allen (2001) mengemukakan bahwa dukungan keluarga dan organisasi mengacu pada kepentingan organisasi dalam membantu karyawan mencapai keseimbangan antara keluarga dan praktik kerja di perusahaan. Thompson, Beauvais, dan Lyness (1999) memperkenalkan konsep budaya kerja keluarga yang mencakup tiga dimensi, yaitu dukungan manajerial untuk keseimbangan pekerjaan – keluarga, konsekuensi karir yang terkait dengan memanfaatkan kerja – keluarga, ddan pencapaian waktu organisasi yang dapat mengganggu tanggung jawab keluarga.5.      Metodologi penelitian
Sampel yang digunakan sebanyak 693 karyawan dari 20 perusahaan jasa swasta di Lembah Klang, pemilihan sampel tersebut didasari atas perusahaan dengan minimal 100 karyawan dengan cara menyebar kuesioner. Pengukuran kuesioner dengan skala likert 1-5 mulai sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Teknik analisis data menggunakan statistic deskriptif, dan regresi berganda.6.      Hasil dan pembahsan
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa dukungan budaya kerja keluarga dirasakan secara positif berkaitan dengan niat perputaran karyawan dan komitmen afektif karyawan memediasi hubungan antara dukungan budaya kerja keluarga dan keinginan keluar karyawan.
7.      Simpulan dan saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa adanya dukungan kerja bagi keluarga diperlukan sebagai mediator hubungan turnover intention dan komitmen afektif. Saran yang bisa diberikan adalah  perlunya seorang  pimpinan untuk membuat  program sebagai pemahaman dalam dukungan budaya kerja keluarga.  

                                                                Review Artikel
Stress Kerja dan Produktivitas Karyawan: Study Kasus pada Sektor Kesehatan Masyarakat Azad Kashmir
Syed Mubasher Hussain Naqvi, Muhammad Asif Khan,  AftabQadir Kant, Shabana Nawaz Khan
Ijcrb.webs.com (Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business),

July 2013 Vol 5,No. 3

1.      Latar Belakang

Adanya fenomena sebagian besar dokter pada AJ&K tidak memperlakukan pasien dengan tidak baik, meskipun mereka memiliki kualitas yang baik. Hal ini bukan dikarenakan tidak adanya imbalan keuangan yang diterima, namun lebih karena faktor-faktor dalam kehidupan pribadi mereka masing-masing.2.      Tujuan
Untuk menetukan penyebab serta menganalisis penyebab dan pengaruh stress kerja terhadap produktivitas kerja pada sector kesehatan masyarakat di Muzaffarabad dan Poonch wilayah Azad Jammu & Kashmir (AJ&K).3.      Hipotesis dan Pengembangannya
Stress kerja yang terjadi pada karyawan pada dasarnya akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pekerjaan mereka, yang membuat produktivitas kian mengalami penurunan.Jing (2008) menyebutkan bahwa stress memepengaruhi orang secara positif dan negative. Pada tahap awal, stress berpengaruh positif untuk memotivasi karyawan, tetapi dalam jangka panjang dapat berefek negative melalui peningkatan frustasi, kecemasan, dan keterlambatan. Oleh karena itu, dihasilkan hipotesis H1 terdapat hubungan negative antara kurangnya imbalan keuangan dan produktivitas karyawan. H2 Adanya enaikan kaku pada jam kerja berpengaruh negative pada produktivtas karyawan. H3 Masalah pribadi dan produktivitas kerja saling mempengaruhi secara negative satu sama lain. H4 Rendahnya control lingkungan kerja berpengaruh negative terhadap produktivitas karyawan. H5 Adanya hubungan negative antara system manajemen brokrasi dan produktivitas karyawan4.      Tinjauan pustaka
Khattak et al, (2011) mengungkapkan karyawan di Pakistan mengalami stress kerja karena beban kerja, masalah teknologi di tempat kerja, jam kerja yang panjang, gaji yang tidak memadai, tidak cukupnya waktu untuk keluarga dan kekhawatiran pekerjaan pada rumah. Sementara Skoczylas dan Tissot (2005) mengungkapkan produktivitas yang tinggi  di Amerika Serikat yang dibandingkan dengan kawasan Euro, dikarenakan tingkat kerja yang tinggi di Amerika Serikat.5.      Metodologi Penelitian
Target populasi dalam penelitian ini  adalah karyawan sektor kesehatan publik dari Muzaffarabad dan Poonch divisi AJ & K dengan sampel 400 karyawan yang dipilih purposive, dimana kuesioner dianalisis dengan SPSS versi 20.6.      Hasil dan pembahasanDitemukan dalam hasil bahwa faktor stres yang berhubungan secara negatif terkait dengan produktivitas karyawan dengan intensitas yang berbeda. Semua faktor stress yang negative memiliki hubungan kausal dengan stres kerja.7.      Simpulan dan saran
Berdasarkan temuan empiris dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah tantangan nyata bagi karyawan yang bekerja di sektor kesehatan masyarakat. Peneliti merekomendasi kepada pembuat kebijakan dan pengelolaan sektor kesehatan masyarakat dari divisi Muzaffarabad dan Poonch AJ & K untuk mempertahankan dan menjaga motivasi karyawan agar produktivitas kerja tetap terjaga. Saran guna penelitian yang akan dating adalah untuk menambahkan variabel-variabel bebas guna memperluas cakupan penelitian, seperti work family conflict.

Review Artikel Gaya Manajemen Konflik ,Kecerdasan Emosional , Dan Kinerja Di Organisasi Umum Hsi- An Shih dan Ely Susanto www.emeraldinsight.com/1044-4068.htm international journal of conflict management Vol 21 no2, 2010 pp 147-168

Gaya Manajemen Konflik ,Kecerdasan Emosional , Dan Kinerja Di Organisasi Umum
Hsi- An Shih dan Ely Susanto
www.emeraldinsight.com/1044-4068.htm international journal of conflict management
Vol 21 no2, 2010 pp 147-168
1.  Pendahuluan
Gladstein, 1984; Wall and Nolan, 1986; Jehn 1995) menyatakan adanya konflik dalam organisasi menyebabkan rutinitas tertanggu, dan penurunan produktivitas serta kepuasan. Sementara Jehn, 1997; Leung dan Tjosvold, 1998;Tjosvold,1998) menyataan sebuah konflik memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, kreativitas, dan kinerja.
2.      Tujuan penelitian
Tjuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional (EI), gaya manajemeen (CMS), dan prestasi kerja di Pemerintahan local daerah di Indonesia.  
3.      Hipotesis dan pengembangan
Jordan dan Troth (2004, hal. 196) mengemukakan bahwa "kemampuan untuk menyadari dan mengelola emosi adalah juga berpikir untuk memfasilitasi fungsional dari disfungsional, resolusi konflik dan akibatnya berkontribusi terhadap kinerja tim yang lebih baik ", sehingga banyak peneliti berasumsi bahwa adanya EI menyebabkan seseorang memilij gaya yang lebih menguntunkan guna penanganan konflik antar pribadi. Berdasarkan hal tersebut, dihasilkan hipotesis : H1. kecerdasan emosional secara positif terkait dengan mengintegrasikan gaya. H2. Kecerdasan emosional secara positif terkait dengan gaya kompromi.  H1. Kecerdasan emosional secara positif terkait dengan mengintegrasikan gaya, H2. Kecerdasan emosional secara positif terkait dengan gaya kompromi. H3. Mengintegrasikan gaya berhubungan positif dengan kinerja pekerjaan. H4. Gaya kompromi berhubungan positif dengan kinerja pekerjaan. H5. Kecerdasan emosional berhubungan positif dengan kinerja H6. Mengintegrasikan gaya akan memediasi hubungan antara EI dan pekerjaan kinerja. H7 . Mengorbankan gaya akan memediasi hubungan antara EI dan pekerjaan
4.      Teori yang digunakan
Konsep kecerdasan social yang dikembangkan oleh Thorndike (1920) telah diakui sebagai salah satu prinsip dasar EI, dimana secara khusus, kecerdasan social mengacu pada “kemampuan untuk melihat dirinya sendiri dan status internal lainnya, motif dan perilaku serta untuk bertindak secara optimal atas dasar informasi. Follet, 1940  menerangkan adanya berbagai gaya penanganan konflik interpersonal, yaitu dominasi, kompromi, intregasi menghindari dan penindasan.
5.      Metodologi penelitian
Sampel yang digunakan sebanyak 300 pegawai pemerintah dari 2 kabuapaten local salah satu provinsi Negara Indonesia dengan cara pengisian kuesioner melalui pengukuran skala likert 7 pont mulai sangat tidak setuju hingga sangat setuju.Respnden yang dipilih ialah harus bekerja sama di sebuah ruangan yang sama dan berinteraksi satu sama lain, sehingga akan memiliki implikasi yang kuat utuk kinerja individu ketika sebuah konflik muncul, meskipun mereka tidak bekerja sebagai sebuah tim. Teknik analisis data menggunakan multiple hierarki regresi.
6.      Hasil dan pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa EI merupakan anteseden gaya manajemen konflik. Selin itu terdapat pengaruh secara langsung gaya intregasi pada prestasi kerja.
7.      Simpulan dan saran
Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimulkan bahwa EI daam organisasi public berdampak prestasi kerja mirip dengan EI dalam organisasi swasta. Saran untuk pemerintah daerah di Indonesia untuk memasukkan unsur EI dalam setiap rekruitmen para pegawainya. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk memperluas sampel penelitian agar hasi penelitian lebih meluas.
8.      Keterbatasan penelitian

Cakupan wilayah yang kecil (tersentral pada wilayah Jawa) membuat hasil penelitian belum secara umum.

Kamis, 28 April 2016

Komunikasi Kerja

KOMUNIKASI KERJA
a.      Pengertian Komunikasi
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia senantiasa berinteraksi dengan manusia lainnya, bahkan cenderung hidup berkelompok atau berorganisasi untuk mencapai tujuan bersama yang tidak mungkin dicapai bila ia sendiri. Interaksi dan kerja sama ini akan terus berkembang dengan teratur sehingga membentuk wadah yang disebut dengan organisasi. Interaksi atau hubungan antar individu-individu dan kelompok dalam setiap organisasi akan memunculkan harapan-harapan. Harapan ini kemudian akan menimbulkan peranan-peranan tertentu yang harus diemban oleh masing-masing individu untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi/kelompok. Sebuah organisasi memang dibentuk sebagai wadah yang didalamnya berkumpul sejumlah orang yang menjalankan serangkaian aktivitas tertentu secara teratur guna tercapainya tujuan yang telah disepakati bersama. Terlebih dalam kehidupan masyarakat modern, manusia merasa bahwa selain mengatur dirinya sendiri, ia juga perlu mengatur lingkungannya, memelihara ketertiban, mengelola dan mengontrolnya lewat serangkaian aktivitas yang kita kenal dengan manajemen dan organisasi.
Dalam setiap organisasi yang diisi oleh sumber daya manusia, ada yang berperan sebagai pemimpin, dan sebagian besar lainnya berperan sebagai anggota/karyawan. Semua orang yang terlibat dalam organisasi tersebut akan melakukan komunikasi. Tidak ada organisasi tanpa komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian integral dari organisasi. Komunikasi ibarat sistem yang menghubungkan antar orang, antar bagian yang terlibat di dalam organisasi tersebut. Efektivitas organisasi terletak pada efektivitas komunikasi, sebab komunikasi itu penting untuk menghasilkan pemahaman yang sama antara pengirim informasi dengan penerima informasi pada semua tingkatan dalam organisasi. Selain itu komunikasi juga berperan untuk membangun iklim organisasi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas organisasi.
Komunikasi (Mangkunegara, 2001: 145) : proses pemindahan suatu informasi, ide, pengertian dari seseorang kepada orang lain dengan harapan orang tersebut dapat menginterprestasikannnya sesuai dengan tujuan yang dimaksud.
b.      Tujuan Komunikasi

Ardana et al. (2009: 57) membagi tujuan komunikasi kedalam 4 bagian yakni:
a)      Pengendalian, komunikasi dari atasan yang berisi petunjuk-petunjuk yang harus ditaati oleh bawahan. Contoh: perintah
b)      Motivator, adanya komunikasi berfungsi untuk menjelaskan agar karyawan dapat lebih berprestasi. contoh: wejangan, nasihat
c)      Sarana pengungkap emosi, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan perasaan seseorang, seperti sedih, senang, marah, dll.
d)     Memberikan informasi, komunikasi memungkinkan penyampaian informasi, petunjuk, dan pedoman yang diperlukan seseorang dalam suatu organisasi untuk menjalankan pekerjaannya. Contoh: informasi mengenai pemakaian seragam kerja, upacara, petunjuk penggunaan mesin.
c.       Bentuk-bentuk komunikasi
Bentuk-bentuk komunikasi menurut Wilujeng (2010: 168) :
1.      Berdasarkan arah komunikasi
a)      Downward communication. Komunikasi yang disampaikan pimpinan kepada bawahan, misalnya instruksi, keterangan umum, perintah, teguran dan pujian.
b)      Upward communication. Komunikasi yang terdiri dari horizontal communication (komunikasi antara orang-orang dalam level yang sama dalam organisasi, contoh: antar karyawan, antar manajer), dan diagonal communication (komunikasi antara orang-orang dari level yang berbeda yang tidak memiliki hubungan langsung satu sama lain dalam struktur oranisasi, contoh komunikasi manajer keuangan dengan manajer sdm).
2.      Berdasarkan cara penyampaian
a)      Komunikasi verbal, yakni komunikasi yang diekspresikan dalam bentuk kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
b)      Komunikasi nonverbal, yakni komunikasi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa isyarat atau symbol, contoh: bahasa tubuh.
3.      Berdasarkan formalitas.
a)      Komunikasi formal, yakni komunikasi yang terjadi akibat adanya struktur organisasi atau adanya garis wewenang dan tanggung jawab yang telah ditetapkan. Contoh: komunikasi bawahan dengan atasan, komunikasi anak muda dengan orang tua.
b)      Komunikasi informal, yakni komunikasi yang terjadi akibat adanya kecenderungan manusia untuk selalu berinteraksi dengan orang lain. Contoh: komunikasi antar sebaya.
d.      Unsur-unsur komunikasi
Unsur-unsur komunikasi menurut Laswell dalam Ardana (2009: 59) yakni
a)      Komunikator, yakni orang yang menyampaikan pesan kepada orang lain.
b)      Pesan, informasi, ide  yang ingin dibagikan.
c)      Media, saluran yang digunakan sebagai perantara untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi bisa berwujud visual (memo, surat, poster), audial (radio, telepon), dan audio-visual (video, film)
d)     Komunikan, orang yang menerima pesan.
e)      Umpan balik, dampak yang dihasilkan dari komunikasi. Terdapat 3 dampak, kognitif (dari yang tidak tahu menjadi tahu), afektif (tidak suka menjadi suka, tidak setuju menjadi setuju), dan
e.       Proses komunikasi
Proses komunikasi menurut Robbins dan Coulter (2001: 79)
a)      Komunikator mempunyai ide, gagasan, informasi yang ingin disampaikan.
b)      Encoding, yakni komunikator merubah suatu gagasan/informasi tersebut kedalam bentuk-bentuk simbolis.
c)      Pesan, sesuatu yang dikomunikasikan.
d)     Channel, yakni media yang dipilih komunikator sebagai perantara untuk menyampaikan pesan.
e)      Komunikan, menerima pesan tersebut.
f)       Decoding, proses penerjemahan pesan-pesan kedalam bentukbentuk yang dimengerti oleh komunikan.
g)      Komunikan memberikan response kepada komunikator.
h)      Selama berkomunikasi terdapat pula gangguang-gangguan (noise) yang mungkin terjadi.
f.       Hambatan dalam komunikasi
Hambatan dalam komunikasi menurut mangkunegara (2001: 150)
a)      Hambatan pribadi. Yakni hambatan yang disebabkan karena emosi, alat indera yang terganggu, dan kebiasaaan-kebiasaan yang berlaku pada norma dan budaya tertentu.
b)      Hambatan fisik. Yakni jarak yang terlalu jauh antara komunikan dengan komunikator.
c)      Hambatan bahasa. Kesalahan dalam menginterprestasikan istilah basaha. Usia, pendidikan, dan latar belakang yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan kata.
g.      Mengatasi hambatan.
Mengatasi hambatan menurut Ardana et al (2009: 64).
1.      Mendengarkan dengan aktif. Dapat diperoleh dengan cara:
a)      Intensitas, yakni berkonsentrasi penuh pada apa yang disampaikan oleh komunikator.
b)      Empati. Berusaha mengerti apa yang dinginkan oleh komunikator.
c)      Penerimaan. Pendengar aktif memiliki penerimaan yang obyektif atas apa yang didengar.
d)     Tanggung jawab untuk meengkapi informasi. Komunikan harus berusaha melengkapi informasi yang diterima agar komunikasi dapat efektif.
2.      Memberikan umpan balik. Komunikator harus melihat reaksi wajah dari komunikan dengan baik, misalnya denan ekspresi wajah tertentu bila sikomunikan tidak dapat mengajukan pertanyaan.

h.      Jendela komunikasi johari
Bentuk komunikasi ini merupakan jendela komunikasi dimana kita sebagai pemberi dan penerima informasi diri kita sendiri dan orang lain.
Description: D:\KULIAH\MEDIA PEMBELAJARAN\kompre\johari.jpg
a)      Wilayah terbuka. Berisi informasi yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain. Contoh: komunikasi antara dua pegawai divisi keuangan.
b)      Wilayah buta. Berisi informasi yang tidak diketahaui diri sendiri, namun orang lain tahu. Contoh: keterangan yang salah diterima oleh kita,
c)      Wilayah tersembunyi. Berisi informasi yang diketahui oleh kita, tetapi orang lain tidak tahu. Contoh: kelemahan dan kekuatan diri kita sendiri.
d)     Wilayah tidak diketahui. Berisi informasi yang tidak diketahui oleh kita dan orang lain. Contoh: kompetensi yang tidak dimiliki oleh kedua pihak.

Daftar pustaka
Ardana, K., Mujiati, N. W & Sriathi, A. A. Y. 2009. Perilaku Keorganisasian  Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu
Mangkunegara, A. A. A. P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Robbins, S. P & Coulter, M. 2010. Manajemen Edisi Sepuluh Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga
Wilujeng, S. 2010. Pengantar Manajemen. Yogyakarta: Graha Ilmu